Total Tayangan Halaman

Selasa, 27 September 2011

NAZAR YEFTA

1.      LATAR BELAKANG PERMASALAHAN
Pada zaman Hakim-hakim, terjadi sebuah peristiwa yang sangat menyedihkan dalam kehidupan keluarga Yefta. Peristiwa ini terjadi akibat nazar yang diucapkan oleh Yefta. Pada waktu itu, orang Israel mengalami penindasan yang sangat berat dari orang Amon. Melihat keadaan yang sudah sangat sulit, akhirnya para tokoh masyarakat  Gilead meminta Yefta untuk menjadi pemimpin mereka. Yefta setuju untuk menolong mereka dengan syarat bahwa dia akan tetap menjadi kepala mereka sekalipun pertempuran sudah selesai.
Dengan semangat Yefta mengunjungi seluruh daerah Gilead dan Manasye untuk meminta pasukan tambahan. Lalu ia menyeberangi  sungai Yabok dan pergi menuju Mizpa. Di sana, sebelum bergerak melawan orang Amon, ia bernazar dihadapan Allah, suatu kebiasaan bangsa-bangsa kuno sebelum maju ke pertempuran. Dengan penuh kesadaran Yefta berjanji akan mempersembahkan kepada Yahweh sebagai korban bakaran ‘apa yang keluar dari pintu rumahku’.[1]

2.      BIOGRAFI YEFTA
Pada zaman Hakim-hakim, bangsa Israel murtad kepada Tuhan. Pada saat itu, setiap orang melakukan apa yang benar menurut pandangannya sendiri ( Hak 7: 6; 21: 25 ). Pada zaman kekacauan itulah Yefta hidup.
Yefta dilahirkan dari perempuan sundal. Nama ayahnya adalah Gilead. Setelah besar, anak-anak Gilead dari istrinya mengusir Yefta. Tampaknya yang membenci Yefta bukan hanya saudara-saudaranya, melainkan juga para tua-tua Israel. Akibatnya Yefta melarikan diri ke Tob dan menjadi pemimpin para perampok.
Ketika keadaan Israel sudah sangat berat oleh penindasan orang Amon, maka para tokoh masyarakat Gilead meminta Yefta menjadi pemimpin mereka. Di bawah kepemimpinan Yefta, mereka akhirnya menang melawan orang Amon.

3.      YEFTA MEMPERSEMBAHKAN ANAKNYA SEBAGAI KORBAN BAKARAN
Kasus ini merupakan suatu kasus yang sangat menarik dan banyak perbedaan pendapat apakah Yefta mempersembahkan anaknya sebagai korban bakaran atau anaknya dipersembahkan sebagai pelayan di Kemah Pertemuan selama hidupnya. Pendapat kedua didasarkan pada larangan firman Tuhan mempersembahkan manusia sebagai korban bakaran ( Im 18: 21; 20: 2-5, Ul 12: 31; 18: 10 ). Mereka menafsirkan ‘menangisi kegadisanku’ ( Hak 11: 37 ) dan ‘jadi gadis itu tidak pernah kenal laki-laki’ ( Hak 11: 39 ) sebagai bukti bahwa ia tidak dipersembahkan, tetapi dijadikan sebagai pelayan Tuhan di depan pintu Kemah Pertemuan seumur hidupnya.[2]
Ada beberapa pokok pikiran untuk menolak pendapat bahwa Yefta mempersembahkan anaknya sebagai pelayan di depan pintu Kemah Pertemuan adalah sebagai berikut:
Ø  Alkitab sama sekali tidak menyinggung tentang pelayan di Kemah Pertemuan. Simpulan itu ditarik dari ungkapan ‘menjadi kepunyaan Tuhan’. Namun simpulan itu mengalami kesulitan dengan adanya ungkapan ‘dan akan mempersembahkannya sebagai korban bakaran’. Untuk mengatasi kesulitan itu, mereka menafsirkan kata ‘dan’ dengan ‘atau’. Namun, dalam seluruh Alkitab perjanjian Lama, kata ‘dan’ tidak dapat ditafsirkan dengan kata ‘atau’. Jika kedua kata hubung itu dapat ditafsirkan demikian, berarti seluruh kata dalam Alkitab PL yang memiliki pola kalimat demikian akan ditafsirkan sama juga. Itu tentu akan membingungkan maksud Allah akan firman-Nya. Mana ‘dan’ yang menghubungkan dan mana ‘dan’ yang memisahkan akan sangat membingungkan pembaca. Dengan tidak mungkinnya perubahan arti itu, di dalam hati Yefta secara sadar, ia berkehendak menjadikan apa yang dinazarkannya itu menjadi milik Allah dengan menjadikannya sebagai korban bakaran.
Ø  Alkitab mencatat bahwa Yefta melakukan apa yang telah ia nazarkan ( Hak 11: 39 ).
Ø  Tuhan tidak pernah menyuruh Musa dan umat Israel untuk menempatkan perempuan sebagai pelayan di rumah Allah. Tuhan telah menetapkan kaum Lewi sebagai pembantu para imam melayani di Kemah Pertemuan, orang awam tidak boleh ( Bil 8: 5-26; 18: 2-7 ). Meskipun Musa pada mulanya sempat memakai kaum perempuan melayani di depan Kemah, hal itu terjadi pada saat Kemah Pertemuan secara keseluruhan belum selesai dikerjakan ( Kel 38: 8 ). Lebih tepatnya, hal itu terjadi pada saat kaum Lewi belum ditetapkan sebagai pembantu imam. Setelah kaum Lewi ditetapkan, Musa tidak pernah lagi memakai kaum perempuan. Jika pola itu kemudian diterapkan oleh imam Eli pada zaman Hakim-hakim ( 1 Sam 2: 22 ), itu pasti di sebabkan umat Israel telah meniru tata ibadah bangsa-bangsa Kanaan. Sistem ibadah bangsa Kanaan terkenal dengan pelacur bakti dan semburit bakti. Perlu diingat bahwa pada zaman Hakim-hakim, umat Israel melakukan apa yang benar menurut apa yang dipandangnya benar ( Hak 17: 6; 21: 25 ).
Ø  Kesedihan Yefta yang begitu dalam serta kebiasaan para perempuan Israel memperingati kematian putri Yefta itu selama empat hari setiap tahun, berlawanan dengan status seorang menjadi pelayan di Rumah Allah. Justru selayaknya Yefta bersukacita sebab anaknya akan menjadi hamba Tuhan seumur hidupnya. Apalagi, putrinya itu dengan sukarelamenerima pelaksanaan nazar ayahnya. Kalau kesedihan Yefta dan kebiasaan para perempuan Israel disebabkan karena anak Yefta menjadi pelayan Tuhan, Yefta bukanlah orang beriman dan kebiasaan perempuan Israel itu akan membuat orang lain tidak bersedia menjadi pelayan Tuhan.
Ø  Jika kesedihan Yefta dikarenakan anaknya menjadi pelayan Tuhan, orang akan menganggap Tuhan sebagai pihak yang jahat. Kalau untuk menjadi hamba Tuhan orang harus menyesal dan berduka sedemikian dalam, lalu apakah makna panggilan pelayanan penuh waktu bagi anak Tuhan? Jika maksud ‘kepunyaan Tuhan’ adalah sebagai pelayan di rumah Tuhan, lalu siapa yang hendak dijadikan demikian oleh Yefta? Biasanya orang Israel kalau menazarkan seseorang menjadi pelayan di rumah Tuhan, orang yang dinazarkan adalah anaknya ( 1 Sam 1: 9-11 ). Dalam hal itu, gadis itu adalah satu-satunya anak Yefta.
Perkataan ‘apa saja’ dalam nazar Yefta sering dipersoalkan. Ada yang menafsirkan kata itu ditulis dalam jenis maskulin. Maksudnya, yang dimaksud Yefta tidak termasuk binatang, tetapi manusia. Dengan demikian, kata ‘apa saja’ diganti dengan ‘siapa saja’. Jika ‘siapa saja’, berarti kemungkinan yang dimaksud oleh Yefta adalah istrinya, para pembantunya, mungkin sanak saudaranya, atau anak satu-satunya.
Ada juga yang menafsirkan ‘apa saja’ sebagai bentuk netral. Itu berarti berlaku baik untuk manusia atau binatang. Dapat diduga bahwa selain manusia, yang dapat menemui seseorang pada waktu pulang ke rumah adalah binatang peliharaan.
Berdasarkan uraian tersebut, timbul pertanyaan, apa atau siapa yang sesungguhnya dimaksud oleh Yefta yang hendak dipersembahkan dan dijadikan korban bakaran bagi Tuhan? Kalau binatang hampir tidak mungkin sebab ternak yang dapat dijadikan korban bakaran, seperti kambing, domba, atau sapi, ditempatkan di padang penggembalaan, bukan di rumah. Mungkinkah tekukur atau merpati? Namun, tekukur atau merpati merupakan korban bakaran bagi orang miskin. Yefta bukanlah orang miskin sebab ia sudah menjadi hakim. Di samping itu, tekukur dan merpati adalah bianatang yang pemeliharaannya di dalam kurungan. Kalau manusia, sudah tentu bukan anaknya. Apakah para pembantu Yefta, istrinya, atau orang tua yang dijadikan sebagai korban bakaran?
Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab itu, sangat sukar menduga ke arah mana nazar Yefta itu ditujukan. Memang kelihatannya aneh, mengapa orang beriman seperti Yefta memiliki pikiran yang seperti ini dan berakibat mencelakakan orang lain. Untuk mengetahui hal ini perlu diperhatikan bagaimana latar belakang kehidupan Yefta seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya.
Dengan melihat kenyataan hidup Yefta yang penuh dengan penolakan dan latar belakang kehidupan yang sangat buruk, jelas bahwa hal itu sangat mempengaruhi psikologis Yefta. Secara psikologis, sesungguhnya Yefta telah terkubur ke dalam “sebuah peti mati” akibat lika batin dan penolakan yang hebat sejak masa kanak-kanaknya.
Jadi, jelaslah bahwa penolakan dari keluarga adalah salah satu faktor yang paling parah yang dapat menimbulkan luka batin yang sulit disembuhkan. Pertobatan tidak secara otomatis dapat menyembuhkan luka batin. Pemulihan ini membutuhkan waktu yang cukup banyak. Jika tidak, akan terjebak ke dalam sindrom psikologis yang menyebabkan ketidakseimbangan emosional. Yefta adalah salah seorang yang terperangkap ke dalam sindrom ketidakseimbangan itu.
Pada zaman PL, orang-orang yang dipilih Tuhan untuk berperang selalu berawal dengan sebuah pengalaman menarik. Pengalaman itu adalah saat berkuasanya Roh Allah atas diri orang tersebut. ‘berkuasa atas’ dapat diartikan memberikan semangat yang meluap-luap, memberikan keberanian, mendorong, atau menggerakkan, dan memberi kekuatan dan kemampuan fisik.
Pengalaman itu juga terjadi ddalam diri Yefta ketika ia hendak berperang melawan orang Amon. Selanjutnya, Alkitab melaporkan malapetaka yang menimpa putri Yefta justru berawal saat Roh Allah berkuasa atas Yefta. Ketika Roh Allah berkuasa atas Yefta ( Hak 11: 29 ), timbullah semangat luar biasa dalam diirinya untuk mengalahkan musuhnya, yaitu bangsa Amon. Semangat yang berapi-api itu rupanya menimbulkan perasaan ( emosi ) yang meluap.
Sementara itu, Yefta yang secara kejiwaan belum mengalami pemulihan, secara tidak terkontrol, mengucapkan nazar yang mencelakakan itu. Karena merasa bahwa nazar seorang laki-laki tidak boleh dicabut dengan cara apapun, Yefta oleh kebodohannya mengorbankan anak gadisnya sebagai korban bakaran.

4.      KESIMPULAN
Yefta adalah seorang hakim yang gagah berani dan mengalahkan bangsa Amon yang telah menindas Israel dengan sangat berat. Dengan keberanian dan kepercayaan diri yang begitu besar, ia mengeluarkan nazar yang akhirnya membuat hatinya begitu sedih. Dalam nazarnya ia mengatakan bahwa ‘apa saja yang keluar dari pintu rumahku untuk menemui aku, pada waktu aku kembali dengan selamat dari bani Amon, itu akan menjadi kepunyaan Tuhan, dan aku akan mempersembahkannya sebagai korban bakaran’ ( Hak 11: 30-31 ). Akibat nazar yang telah diucapkannya dan karena kebodohan serta kekerasan hatinya, ia menjadikan anak perempuannya sebagai korban bakaran.


DAFTAR KEPUSTAKAAN

--------, Alkitab Terjemahan Baru, LAI.
Browning, W. R. F, Kamus Alkitab, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008.
_____, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II ( M-Z ),  Jakarta: Yayasan Bina Kasih/OMF, 2007.
 Sitohan, H. Samin, Kasus-kasus Dalam PL, Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2005.


[1] _____, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II ( M-Z ), ( Jakarta: Yayasan Bina Kasih/OMF, 2007. Hlm. 553 ).
[2] Sitohan, H. Samin, Kasus-kasus Dalam PL, ( Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2005. Hlm. 115 ).

Selasa, 20 September 2011

PERASAAN TENANG DEKAT ALLAH ( MAZMUR 62: 1-13 )

Tulisan ini terinspirasi ketika membaca 1 Tes 4: 11 kata ke-8 yaitu ‘tenang’ dan Rut 2: 12 kata ke-3 yaitu ‘membalas’.

A.    Latar Belakang Mazmur 62
Mazmur 62 ditulis oleh Daud dan dinyanyikan oleh Yedutun. Dalam Mazmur 62 ini Daud mengungkapkan perasaan hatinya bahwa hanya dekat Allah saja ada ketenangan. Penulisan Mazmur 62 ini dilatarbelakangi oleh keadaan Daud ketika ia dikejar-kejar oleh Absalom yang berusaha merebut kekuasaan. Dalam kegelisahan hatinya, Daud menemukan bahwa ketenangan dan keselamatan sumbernya adalah dari Tuhan.
B.     Garis Besar Isi
Seseorang menerima Firman Allah yang menyelamatkannya (ayat 2) dan itulah sebabnya ia mengaku percaya kepada Tuhan yang telah membebaskannya dari lawan-lawannya (ayat 2-5) serta mengajak umat yang percaya untuk turut berlindung kepada Tuhan (ayat 6-9) serta memberikan  nasihat (ayat 10-13). Bait pertama dan kedua dari Mazmur ini di buka dengan pengakuan percaya yang sama, bait kketiga ditutup dengan pengakuan iman.
C.     Tafsiran
1.      Ayat 1. Yedutun adalah seorang Lewi yang diangkat Daud untuk memimpin ibadah musik di Bait Suci bersama Heman dan Asaf (1 Taw 25: 1, 3, 6). Namanya yang lain yaitu Etan (1 Taw 6: 44), mungkin adalah namanya sebelum pengangkatan. [1]
2.      Ayat 2-3 dan 6-7. Karena Tuhan telah dialami sebagai gunung batu (Mzm 18: 3) dan kota benteng (Mzm 46: 8, 12; 20: 2; 69: 30) tempat yang tinggi, kuat dan aman, sehingga orang yang dilindungi-Nya takkan goyah (Mzm 16: 8; 21: 8), maka pemazmur merasa tenang, menurut terjemahan aslinya ia berdiam diri serta memberikan segenap perhatiannya kepada Allah dalam kesadaran bahwa pada-Nya saja terdapat keselamatan dan harapan.
Istilah ini pun mempunyai nada menanti-nantikan dengan penuh perhatian: demikianlah Tuhan sendirilah yang dinanti-nantikan (Yer 14: 22; Yes 33: 2, 25: 9; 26: 8 oleh umat-Nya dan Mzm 39: 8; 130: 5-6; 25: 5, 21 oleh masing-masing anggotanya). Dalam PL orang percaya sering di sebut orang yang menaruh harapannya kepada Allah, yaitu mereka yang dengan sadar menanti-nantikan agar Ia bertindak (Rat 3: 21-30; Mzm 33: 22; 38: 16), kepada merekalah dijanjikan berkat Tuhan (Yes 40: 31; 49: 23; Rat 3: 25; Mzm 25: 3). Itulah sebabnya juga anggota jemaat disuruh mengharapkan Tuhan (Mzm 27: 14; 37: 7, 34; 131: 3).
3.      Ayat 4-5. Pemazmur berkedudukan tinggi. Seorang diri ia ditentang banyak orang (seseorang – kamu sekalian); keadaannya diibaratkan dengan keadaan tembok kota atau pagar desa (yang tersusun dari batu tanpa semen) yang mau dijatuhkan oleh lawan yang hendak menyerbu negeri. Tetapi para lawan itu tidak bersenjata besi, melainkan menyerang dengan perkataan dusta (bnd Mzm 4: 3; 41: 7; 55: 22): ucapan mereka kedengaran sebagai berkat. Lawan yang dimaksudkan adalah orang dalam yang bersaing merebut kuasa.
4.      Ayat 8-9. Allah menyelamatkan pemazmur dalam jabatannya yang mulia; bila pemazmur berlindung kepada Tuhan, maka Allah meletakkan dasar yang kuat di bawah kakinya dan memulihkan kekuatannya dan kuasanya. Pertolongan Allah yang sama itu berlaku juga untuk seluruh umat yang berlindung pada-Nya; itulah sebabnya pemazmur mengajak orang banyak untuk mempercayakan diri kepada Allah pada setiap waktu dan mencurahkan isi hati mereka kepada-Nya.
5.      Ayat 10-11. Lawan-lawan dan pengikut-pengikut mereka tidak berdaya di depan Tuhan. Itulah sebabnya jangan orang mempercayakan diri kepada mereka yang usahanya akan dibongkar Allah sebagai pemerasan dan perampasan. Harta yang mereka bagikan hanya dimaksudkan sebagai umpan yang mengikat hati dan memperalat orang yang dimerdekakan Allah.
6.      Ayat 12-13. Dalam ayat ini pemazmur menyimpulkan pengalamannya. Sekali Allah berfirman dan menyelamatkannya (ayat 2, 7, 8), dari firman yang satu itu dapat diambil dua kesimpulan: pertama bahwa kuasa dari Allah asalnya (bnd ayat 5, 8; Yoh 19: 11; Roma 13: 1) dan harus dipertanggungjawabkan kepada hakim yang membalas setiap orang menurut perbuatannya (Yer 17: 10; Mat 16: 27) dan kedua bahwa “kasih setia dari pada-Mu, ya Tuhan”; Dia yang berkuasa sebagai Tuhan memelihara persekutuan dengan umat-Nya. Itulah sebabnya pemazmur tidak hanya mengajarkan, tetapi berdoa dan menghantarkan saudara-saudara seimannya untuk bersama-sama memuji “Allah tempat perlindungan kita” (ayat 9).


D.    Aplikasi
Seringkali kita merasa bingung dan gamang, bahkan terkadang bagaikan orang yang tenggelam, dalam arus keras kehidupan. Dan sering kali kita merasa mudah goyah, semangat gampang patah, bahkan sering hampir menyerah, merasa sangat lemah sekali. Seringkali kita mengandalkan kekuatan diri sendiri.
Pada tahun 1980 ada sebuah film berjudul BODYGUARD yang dibintangi Kevin Costner dan Whitney Houston. Film ini bercerita tentang Houston sebagai artis yang hidupnya dikelilingi para pengemar fanatic yang ingin mencelakai dirinya. Untuk melindungi diri, ia menggunakan jasa pengawal pribadi, seorang veteran angkatan perang. Dalam film itu ditunjukkan bagaimana peralatan canggih yang digunakan diseluruh rumah Houston untuk membuatnya bisa tidur tenang, sebab apalah artinya kita memiliki segala sesuatu, tetapi hidup tidak tenang, selalu gelisah, galau dan selalu dikejar ketakutan.
Sayang orang kerap salah mencari sumber ketenangan. Misalnya dengan mengantungkan, hidup pada bodyguard, senjata, uang atau jabatan. Ketenangan sejati tidak terletak pada itu semua, tetapi  pada kedekatan dengan Tuhan, sebab Tuhan adalah pemilik sesungguhnya dari kehidupan ini. Tuhan adalah sumber pengharapan dan perlindungan seperti yang disaksikan Daud dalam Mazmur 62 ini. Kita mendambakan ketenangan ?. Kuncinya jangan jauh – jauh dari Tuhan, tidak berarti hidup kita kemudian menjadi lurus dan mulus, juga tidak lantas menjadi bebal, lepas dari segala masalah.  Tidak saja masalah dan rintangan tetap ada, tetapi seberapa pun  besarnya masalah yang mendera dan rintangan yang menghadang, itu tidak akan merenggut ketenangan kita.
DEKAT DENGAN ALLAH ITU KUNCI KETENANGAN HIDUP.



[1] Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1995, hlm. 553)

Rabu, 07 September 2011

Pacaran Menurut Alkitab

Bab I Pendahuluan

Berpacaran adalah konsep masyarakat modern, artinya baru beberapa puluh tahun inilah kita mengenal konsep tersebut. Di masa lampau hal ini tidak di kenal karena perkawinan biasanya diatur oleh pihak keluarga atau orang tua kedua belah pihak. Mengapa demikian? Karena memang perkawinan bukan cuma masalah pribadi kedua orang yang terlibat saja, melainkan mempunyai dampak yang luas kepada keluarga dan seluruh masyarakat sekitarnya. Dengan majunya ilmu pengetahuan dan teknologi membawa suatu perubahan besar bagi generasi muda, mereka belajar bersama dan bergaul bersama dan menuju kedewasaan bersama. Dalam pergaulan sering kali berkembang pada hubungan-hubungan yang khusus yang menjurus ke pada persahabatan atau kepada pacaran.

Bab II Arti dari pacaran

Pacaran adalah dampak dari pergaulan sehingga munculah hubungan (muda-mudi), dua orang yang tidak sejenis, berdasarkan rasa cinta. Jadi berpacaran adalah suatu proses di mana seorang laki-laki dan perempuan menjajaki kemungkinan adanya kesepadanan di antara mereka berdua yang dapat dilanjutkan ke dalam perkawinan. Jadi apabila kita melihat pengertian di atas, maka berpacaran itu bukanlah sekedar bersenang-senang melampiaskan nafsu, mengisi kekosongan, tetapi di dalam berpacaran itu ada suatu keseriusan dan kesungguhan untuk menjalin hubungan kedua belah pihak, yang menuju kepada suatu pertunangan. Namun pada umumnya orang salah menginterpretasikan persepsi pacaran yang sesungguhnya yaitu dengan cara menyalah gunakan praktek berpacaran itu sendiri, sehingga menimbulkan dampak yang negatif dan tidak jarang kedua belah pihak saling merugikan, misalnya:

1. Ganti-ganti pacar
2. Saling mendewakan
3. Melampiaskan nafsu seksual yang tidak wajar dan belum saatnya di lakukan pada tahap itu.


Sayangnya banyak orang terburu-buru dalam proses ini, sehingga masih terlalu muda, sudah ada remaja yang jatuh cinta dan bahkan merasa yakin bahwa orang yang diidamkan itu pasti merupakan pasangan hidupnya, ada juga pada masa pacaran orang sudah memanggil papi dan mami. Padahal belum tentu mereka akan menjadi suami istri. Apa yang terjadi apabila ternyata hubungan tersebut putus! Yang terjadi adalah kepahitan dan kekecewaan yang sangat mendalam karena seolah-olah seluruh harapan sudah ditumpahkan kepada sang pacar. Pacaran berbeda dengan persahabatan, pertunangan, dan pernikahan karena pacaran adalah hubungan dua orang yang tidak sejenis berdasarkan cinta. Persahabatan berlangsung antara dua orang atau lebih yang mempunyai hubungan yang lebih baik. Pertunangan adalah suatu masa yang lebih mendalam dari pada masa berpacaran. Dalam masa ini, suatu pasangan sudah tiba pada tahap perencanaan yang lebih matang untuk memasuki kehidupan keluarga. Pernikahan adalah bersatunya dua lawan jenis menjadi satu daging dan menjadi satu lembaga yaitu Keluarga.

Bab III Pacaran menurut Alkitab

Telah dikatakan dalam Bab I bahwa pacaran itu adalah konsep masyarakat modern, dan secara tertulis Alkitab tidak pernah menyinggung soal kata pacaran ini, tetapi ada kisah-kisah dalam Alkitab yang menceritakan kisah hidup seorang pemuda yang begitu sangat mencintai seorang wanita, namanya Yakub (Kej. 29:18). Kisah ini memang tidak dicatat secara terperinci bagaimana sikap kedua insan ini, tetapi yang jelas Yakub mendapatkan Rahel, setelah ia bekerja dengan penuh kesungguhan selama tujuh tahun tujuh hari, tetapi ia harus menambah selama tujuh tahun lagi. Ini membutuhkan suatu ketabahan/kesabaran yang luar biasa. Dalam perjanjian baru mengenai pacaran ini hanya tersirat yaitu bagaimana sikap seorang Kristen misalnya (Roma 12:20) dimana sistim pacaran dunia tidak dapat dipakai oleh seorang Kristen ketika ia ada pada masa-masa pacaran. Dipihak lain Paulus menasihatkan anak didiknya Timotius yang masih muda itu supaya bisa jadi teladan dari hal percaya, perkataan, tingkah laku, kasih, kesetiaan dan kesucian agar orang tidak melihat atau menganggap rendah Timotius masih muda itu. Melihat hal-hal diatas, maka mari kita melihat bagaimana cara anak Tuhan berpacaran menurut konsep Alkitabiah:

3.1. Pacaran itu harus didasari Kasih Allah.
Apa tujuan kita pacaran? Apakah hanya mengisi kekosongan dalam hidup kita, keinginan dalam hidup kita, keinginan mata atau hal-hal yang menyangkut kepada kepuasan diri sendiri, dimana yang menjadi pusat perhatian hanya pada diri sendiri. Sehingga pada masa pacaran timbul istilah bahwa dunia ini hanya milik mereka berdua, dan tai gigipun akan rasa coklat…dan sebagainya,….dsb.

Orang dunia mengatakan bahwa asmara itu adalah cinta dan itu sangat dibutuhkan bagi orang yang berada pada masa pacaran. Menurut kamus, asmara itu mempunyai dua pengertian yaitu:

1. Cinta Kasih
2. Cinta birahi, dimana seorang anak muda digoda dan tergila-gila pada pasangannya.

Pada dasarnya asmara itu bukan cinta, karena asmara itu naksir/keinginan yang semua ini berpusat pada diri sendiri. Cinta kasih atau Kasih itu menurut Alkitab bisa kita baca dalam I Korintus 13:4-7. Cinta yang benar tidak dapat dijadikan topeng untuk satu maksud dan motivasi tertentu, cinta yang benar tidak mementingkan diri sendiri, melainkan mengutamakan orang lain. Jadi asmara itu tidak sama dengan cinta sebab dampak dari asmara itu adalah kebalikan dari makna cinta yang sebenarnya. Yes. 13:16, 18, ini merupakan ucapan Tuhan kepada Babil, di mana anak-anak muda tidak perduli lagi terhadap Kudusnya pernikahan itu. Sehingga dampaknya kebebasan seks, adanya pengguguran kandungan dsb.

Asmara itu hanya berpusat pada diri sendiri dan biasanya diiringi dengan nafsu (seks) dan itulah adalah dosa. Mat. 5:28, menginginkannya saja sudah berzina. Simpati itu bisa saja tetapi naksir itu tidak boleh. Jadi pacaran yang benar harus berorentasi pada kasih akan Allah, dimana kepentingan Allah yang harus diutamakan atau diprioritaskan dalam hubungan pacaran itu. Kita harus menunjukkan gaya hidup yang disetujui oleh Allah, bukan berpusat pada diri sendiri. Kasih akan Allah ini membuat kita mengikuti atuaran main yang Allah berikan, diantaranya :II Korintus 6:14 …….

Meskipun pada tingkat tubuh dan jiwa pasangan yang tidak seimbang itu dapat bersatu, namun dalam tingkat roh terjadi kekosongan. Pasangan itu tidak dapat berdoa bersama-sama dan tidak dapat menyelesaikan masalah-masalah yang menggoncangkan hubungan mereka dengan Tuhan. Akibat dari hal ini kepentingan pribadi akan didahulukan dari kepentingan Allah.

Jika berpacaran yang benar harus didasari kasih akan Allah, maka dalam hal berpacaran kita harus berani bertanya kepada Tuhan, mengapa demikian? Karena pacaran itu merupakan suatu persiapan kita masuk pada pertunangan dan pernikahan. Jika pacaran itu didasari atas diri kita sendiri, itu seringkali membawa hasil kekecewaan, misalnya ketika kita mengambil sikap memutuskan dia; syukur bila yang kita putuskan itu tidak kecewa, tetapi apabila ia merasa kecewa/sakit hati maka itu berarti kita telah melakukan pembunuhan dan bisa jadi pasangan kita itu akan meninggalkan Tuhan bahkan menjadi murtad. Ini berarti kita berdosa kepada Tuhan. Percayailah Allah dalam segala hal karena Ia itu Maha Tahu yang tentunya tahu apa yang menjadi kerinduan /kebutuhan kita bahkan Ia menjanjikan masa depan yang penuh harapan, lihatlah Yeremia 29:11; Amsal 23:18. Jadi pacaran yang benar harus di dasari dengan Kasih Allah sehingga orientasi pergaulan itu hanya ada di dalam tubuh Kristus. Bukan berdua-berdua, karena akibat dari berdua-duaan itu ‘nenek bilang…berbahaya’.

3.2. Harus mengikuti standar moral Alkitab.

Apakah dalam berpacaran dibenarkan perpegangan tangan, berciuman, bermesraan dsb? Telah dikatakan tadi dalam Roma 12:12 bahwa jangan kita menjadi serupa dengan dunia atau dengan kata lain jangan berpacaran ala orang dunia. Berpacaran cara duniawi berbeda dengan berpacaran yang Alkitab/ berpacaran yang bertanggung jawab kepada Tuhan. Perbedaannya yaitu:

1. Pacaran duniawi bertujuan mencari pengalaman dan kenikmatan dalam hubungan cinta dengan pertimbangan : mungkin besok sudah mencari pacar baru lagi. Pacaran yang bertanggung jawab kepada Tuhan melihat hubungan pacaran sebagai kemungkinan titik tolak yang menuju lorong rumah Nikah.

2. Pacaran duniawi memanfaatkan tubuh pasangannya untuk memuaskan perasaan seksual, mula-mula pada tingkat ciuman dan pelukan, namun kemudian gampang menjurus kepada tingkat hubungan seksual. Pacaran yang bertanggung jawab kepada Tuhan melihat Tubuh pasanganya sebagai rumah kediaman Roh Kudus (I Korintus 3;16) yang dikagumi dan di hargai sebagai ciptaan Allah yang nanti di miliki dalam rumah nikah, dimana mereka saling menerima satu dengan yang lain dari tangan Tuhan.

3. Pacaran duniawi, berorientasi masa kini (sekarang)

Oleh karena itu sering mengakibatkan luka-luka yang dalam, bila terjadi perpisahan. Pacaran yang bertanggung jawab kepada Tuhan berorientasi pada masa depan (hari esok). Mereka membatasi segala hubungan intim jasmani dengan kesadaran bahwa pacaran ini belum mengikat. Masing-masing harus dapat melepaskan satu dengan yang lainnya (bila terjadi ketidak cocokan) tanpa saling melukai.

Standar Alkitab tentang pacaran yaitu I Tesalonika 4:3 yaitu Allah berkehendak supaya kita ada dalam kekudusan. Jangan merusak Bait Allah yang di dalamnya Roh Allah bertahta. Mat. 5:27-28; Kid. 2:7; 3:5 ;8:4. Efesus 4:27 mengatakan janganlah beri kesempatan pada iblis sebab dengan kita membuka celah berarti kita telah memberi kesempatan untuk melakukan sesuatu yang tidak Allah kehendaki. Dosa seks akan membawa kita perlahan-lahan masuk pada dunia free seks. Hubungan badani (senggama) antara lawan jenis itu tidak akan berlangsung ketika dua pasangan itu baru mengenal. Ciuman dan pelukan antara seorang pemuda dan pemudi merupakan kontak fisik untuk mendapatkan seksuil dan kenikmatan. Ada empat tingkat intensitas hubungan fisik, di mulai dari yang paling lemah sampai yang paling kuat.
Keempat tingkat tersebut ialah:

1. Berpegangan tangan.
2. Saling memeluk, tetapi tangan masih diluar baju.
3. Berciuman
4. Saling membelai dengan tangan di dalam baju.

Ransangan seksual yang terus menerus akan menciptakan dorongan biologis yang terus memuncak. Ketika dorongan seks menggebu-gebu, kedewasaan, kecerdasan, dan pendirian-pendirian serta iman seringkali tidak berfungsi, atau tersingkir untuk sementara. Banyak pasangan muda berkata bahwa ciuman itu normal, karenan ciuman itu adalah kenikmatan pada masa pacaran dan dianggap akan lebih mengikat tali kasih antara dua belah pihak. Itu adalah pendapat yang sangat keliru karena Alkitab memberikan penjelasan bahwa dampak dari hubungan itu akan membuat seorang merasa bersalah bahkan bisa merubah sayang itu menjadi benci. Contoh II Samuel 13:1-15. Cerita ini mengisahkan anak-anak Daud yaitu Amnon dan Tamar di mana Amnon begitu mencintai Tamar, sampai-sampai ia jatuh sakit karena keinginannya untuk memiliki Tamar. Tetapi pada ayat 15 menceritakan setelah mereka jatuh pada dosa seks, timbullah suatu kebencian dalam diri Amnon terhadap Tamar, ini berarti bercumbuan bukan merupakan jaminan akan cinta sejati.

Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Efesus (Ef. 4:17-21) supaya anak Tuhan jangan jatuh pada hal berciuman dan lain-lain yang merangsang dalam masa berpacaran karena itu bertentangan dengan Alkitab. Dengan demikian orang-orang Kristen harus menghindari percumbuan dalam masa berpacaran, sebab tindakan tersebut merupakan penyerahan diri kepada seksualitas, membiarkan hawa nafsu berperan, yang nantinya akan membawa kepada kecemaran dan pelanggaran kehendak Allah. Lebih jauh lagi pengajaran-pengajaran moral Paulus kepada anak muda Kristen di mana saja. I Timotius 5:22 bagian akhir "jagalah kemurnian dirimu". Yesaya 5:20 celakalah yang mengatakan kejahatan itu baik dan kebaikan itu jahat. Wahyu 18:2-3 keindahan tubuh telah dipakai setan untuk menghancurkan nilai-nilai iman Kristen. Akhirnya kita akan melihat hubungan seksual muda-mudi sebelum pernikahan dalam konteks Alkitabiah yaitu:

1. Dalam perjanjian Lama Ulangan 22:13-30 Ungkapan ini menunjukkan betap tingginya nilai keperawanan, Amsal 7:1327.

2. Dalam Perjanjian Baru I Korintus 6:10 Hubungan seksual diluar pernikahan adalah percabulan. I Korintus 6:13,18,19 Jauhkan dirimu dari percabulan, tubuh kita bukan untuk percabulan.

Hubungan seksual diluar nikah bukan hanya masalah pribadi melainkan mengikutsertakan Tuhan, I Tesalonika 4:3-5,8. Jadi berpacaran itu mempunyai batas-batas tersendiri, karena pacaran itu tidak sama dengan pertunangan dan perkawinan. Artinya sang pacar itu bukanlah suami atau isteri sehingga tidak boleh diperlakukan demikian. Oleh karena itu ada baiknya apabila orang berpacaran pergi bersama-sama dengan teman-teman atau anggota keluarga yang lain sehingga selalu ada rem yang mampu mengendalikan semua tingkah laku.

Bab IV Kesimpulan

Agar pemuda-pemudi di dalam Kristus tidak berdiri dengan menangis dan menyesal pada puing-puing ketentuan yang mereka sudah setujui bersama pada awal hubungan mereka, haruslah mereka berorientasi dalam segala pergaulan mereka kepada ke empat nasihat Firman Tuhan yaitu:

1. Berdoalah senantiasa, I Tes. 5:17; khususnya pada waktu pacaran

2. Ucapkanlah syukur senantiasa atas segala sesuatu, Ef. 5:20; apakah semua pengalaman pada waktu berpacaran menimbulkan ucapan syukur?

3. Lakukanlah segala sesuatu berdasarkan iman, Roma 14:23 setiap langkah dalam hubungan pacaran mempunyai dimensi ke atas yaitu tanggung jawab kepada Tuhan.

4. Pandanglah tubuhmu dan tubuhnya adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu. Kamu bukanlah milik kamu sendiri, kamu sudah dibeli! Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu ( I Korintus 6:19-20)

http://us.share.geocities.com/pemudaekklesia/pacaran.htm

0 comments:

Post a Comment

Jadilah Garam dan Terang : Dunia Masturbasi Itu Dosa?

Amat disayangkan bahwa topik seksualitas tidak terlalu banyak didiskusikan (bisa dibilang hampir tidak pernah) di kalangan kristen, karena hal ini dianggap tabu, untuk suami-istri saja atau banyak alasan lainnya. Masalahnya, di dalam pengalaman saya, apalagi di kalangan muda-mudi, mereka sangatlah ingin mengetahui apa pandangan Alkitab di dalam hal ini. Contohnya saja, salah satu kegiatan tambahan di sekolah saya (pada jaman dahulu kala ;) ), pendalaman alkitab, jarang sekali yang meminatinya, tetapi, ketika topik seksualitas muncul, kelas ini langsung penuh! Pesertanya pun sangat aktif dalam berdiskusi dan bertanya.
Mengapa topik ini begitu menarik perhatian? Apakah memang ini hanyalah bagian dari naluri manusia yang sudah dari sananya? Atau dari evolusi? Sudah saya paparkan di tulisan yang sebelumnya asal muasal seksualitas ini menurut Alkitab. Tetapi, di artikel ini, ada satu hal spesifik yang ingin saya lebih bahas lebih lanjut: masturbasi.
Apakah masturbasi itu dosa?” merupakan mayoritas pertanyaan yang dilontarkan oleh peserta pendalaman alkitab pada waktu itu. Tentunya, pertanyaan ini ditulis di secarik kertas, dan dikumpulkan, lalu hanya pertanyaan yang paling banyak sajalah yang dibahas waktu itu. Tidak ada yang punya nyali untuk mempertanyakan hal ini secara langsung pada waktu itu. Terus terang saja, saya sama sekali tidak ingat apa yang saya pelajari dari diskusi ini (sudah terlalu lama ;) ), tetapi topik ini selalu hangat, bahkan sampai sekarang!
Untuk mendapat jawaban yang ‘Alkitabiah’, tentunya kita hanya dapat berdasarkan pada Alkitab, bukan pada perkataan atau analisa si ‘A’, ‘B’, atau tokoh terhormat lainnya, termasuk presiden (dan termasuk saya sendiri tentunya)!!! Berdasarkan prinsip ini, ada beberapa fakta dari Firman Tuhan yang perlu dipertimbangkan dalam hal masturbasi:
  1. Seks diciptakan oleh Tuhan dengan tujuan yang baik dan untuk dinikmati oleh sepasang suami istri (Kejadian 1:27,31 dan Kejadian 2:24)
  2. Alkitab tidak memiliki tulisan langsung mengenai hal masturbasi. Akibatnya, Alkitab tidak mendukung ataupun melarang hal ini. Marilah kita berhati-hati dalam melarang hal-hal yang Alkitab pun tidak menyebutnya.
  3. Pengajaran langsung dari Yesus sendiri: “jika ada orang yang memandang perempuan dengan pikiran penuh hawa nafsu, orang itu sudah berbuat zina dengan perempuan itu dalam pikirannya” Matius 5:28
  4. “”Segala sesuatu diperbolehkan.” Benar, tetapi bukan segala sesuatu berguna. “Segala sesuatu diperbolehkan.” Benar, tetapi bukan segala sesuatu membangun. Jangan seorangpun yang mencari keuntungannya sendiri, tetapi hendaklah tiap-tiap orang mencari keuntungan orang lain” 1 Korintus 10:23-24
Kesimpulan, bukan masturbasi itu sendiri yang menyebabkan dosa, tetapi mengapa seseorang melakukannya:
  • Jika seseorang melakukannya karena nafsu birahi yang dibangkitkan dari orang lain  yang bukan istri (atau suaminya), melalui gambar-gambar maupun hanya imajinasi, menurut Matius 5:28, ini merupakan perbuatan dosa
  • Jika seseorang melakukannya dengan tujuan mengontrol hawa nafsu, baik sebagai seorang bujang (atau perawan), ataupun karena si suami atau si istri yang sedang berpergian dalam jangka waktu yang lama, ini menjadi masalah ‘kebebasan orang percaya’ (Roma 14, 1 Korintus 10:23-33)
Tujuan saya menulis artikel ini adalah untuk mengundang sesama pengikut Yesus, untuk tidak membebani sesama dengan perintah-perintah atau larangan yang bahkan tidak pernah disebut di dalam Alkitab. Pada saat yang sama, kita sebagai pengikut Yesus, tidak mencari alasan ‘saya boleh kok melakukan hal ini karena ini itu‘, melainkan mencari kepentingan orang lain terlebih dahulu.