Total Tayangan Halaman

Selasa, 04 Oktober 2011

TANGAN MERAYAP

Tangan      : Radar Kudus, 11 Mei 2008, hal 17 kolom 4 baris 3 kata ke-9
Merayap    : Radar Kudus, 11 Mei 2008, hal 3 kolom 1 baris 7 kata ke- 4

Dengar, Nak... ayah mengatakan ini pada saat kau terbaring tidur. Sebelah tangan kecil merayap di pipimu dan rambutmu yang keriting pirang lengket pada dahimu yang lembab. Ayah menyelinap masuk seorang diri ke kamarmu. Dan baru beberapa menit yang lalu, ketika ayah sedang membaca koran di perpustakaan, satu sapuan sesal yang amat dalam menerpa. Dengan perasaan bersalah ayah masuk menghampiri pembaringanmu. Ada hal-hal yang ayah pikirkan. Ayah selama ini besikap kasar kepadamu. Ayah membentakmu ketika kau sedang memakai pakaian hendak pergi ke sekolah karena kau Cuma menyeka mukamu sekilas dengan handuk. Lalu ayah melihatmu tidak membersihkan sepatumu. Ayah berteriak marah tatkala kau melempar beberapa barangmu ke lantai.
            Saat makan pagi, ayah juga menemukan banyak kesalahan pada dirimu. Kau meludahkan makananmu dan juga menelan makanan dengan terburu-buru. Kau meletakkan sikumu di atas meja. Kau mengoleskan mentega terlalu tebal di rotimu. Dan begitu kau baru mulai bermain dan ayah berangkat mengejar kereta api, kau berpaling dan melambaikan tangan sambil berseru, “selamat jalan, ayah!” dan sambil mengerutkan dahi ayah menjawab, “tegakkan bahumu!” kemudian semua itu terulang lagi pada sore hari. Begitu ayah muncul dari jalan, ayah segera mengamatimu dengan cermat, memandang hingga lututmu yang sedang bermain kelereng dan ada lubang pada kaus kakimu. Ayah menghinamu di depan kawan-kawanmu, lalu menggiringmu untuk pulang ke rumah. Kaus kaki mahal dan kalau kau yang harus membelinya tentu kau akan lebih hati-hati. Bayangkan itu, nak. Itu keluar dari pikiran seorang ayah!
            Apakah kau ingat nantinya ketika ayah sedang membaca di ruang perpustakaan. Bagaimana kau datang dengan perasaan takut dan rasa terluka dalam matamu? Ketika ayah terus memandqng koran dan tidak sabar karena gangguanmu, kau jadi ragu-ragu di depan pintu. “Kau mau apa?” semprot ayah. Kau tidak berkata sepatah pun, melainkan berlari melintas dan melompat ke ayah, kau mengayunkan tanganmu yang kecil merayap melingkari leher ayah dan mencium ayah. Tangan-tanganmu yang kecil semakin erat memeluk dengan hangat. Kehangatan yang telah Tuhan tetapkan untuk mekar di hatimu dan bahkan sebuah pengabaian sekalipun tak mampu melemahkannya. Dan kemudian kau pergi bergegas menaiki tangga.
            Nah, nak... sesaat setelah itu koran jatuh dari tangan ayah dan satu rasa takut yang menyakitkan menerpa ayah. Kebiasaan apa saja yang telah ayah lakukan? Kebiasaan dalam menemukan kesalahan dan mencerca, ini adalah hadiah ayah untukmu sebagai seorang anak laki-laki. Tapi bukan berarti ayah tidak mencintaimu. Ayah lakukan ini karena ayah berharap terlalu banyak dari masa muda. Ayah sedang mengukurmu dengan kayu pengukur dari tahun-tahun ayah sendiri.
            Dan sebenarnya begitu banyak hal yang baik dan benar dalam sifatmu. Hati mungil milikmu sama besarnya dengan fajar yang memayungi bukit-bukit luas. Semua ini kau tunjukkan dengan sikap spontanmu saat kau menghambur masuk dan mencium ayah sambil mengucapkan selamat tidur. Tidak ada masalah lagi malam ini. Ayah sudah datang ke tepi pembaringanmu dalam kegelapan dan ayah sudah berlutut di sana dengan rasa malu! Ini adalah sebuah rasa tobat yang lemah. Ayah tahu kau tidak akan mengerti hal-hal seperti ini kalau ayah sampaikan padamu saat kau terjaga. Namun, esok hari ayah akan berjanji menjadi ayah sejati! Ayah akan bersahabat karib denganmu, ikut menderita bila kau menderita dan tertawa bila kau tertawa. Ayah akan menggigit lidah ayah kalau kata-kata tidak sabar keluar lagi dari mulut ayah. Ayah akan terus mengucapkan kata ini seolah-olah sebuah ritual: “Dia hanya seorang anak lelaki kecil!”
            Ayah khawatir sudah membayangkanmu sebagai seorang lelaki. Namun, saat ayah memandangmu sekarang, nak, meringkuk, berbaring dan letih dalam tempat tidurmu, ayah melihat bahwa kau masih seorang bayi. Kemarin kau masih dalam gendongan ibumu dan kepalamu berada dalam bahu ibumu. Ayah sudah meminta terlalu banyak, sungguh terlalu banyak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar