Total Tayangan Halaman

Selasa, 27 September 2011

NAZAR YEFTA

1.      LATAR BELAKANG PERMASALAHAN
Pada zaman Hakim-hakim, terjadi sebuah peristiwa yang sangat menyedihkan dalam kehidupan keluarga Yefta. Peristiwa ini terjadi akibat nazar yang diucapkan oleh Yefta. Pada waktu itu, orang Israel mengalami penindasan yang sangat berat dari orang Amon. Melihat keadaan yang sudah sangat sulit, akhirnya para tokoh masyarakat  Gilead meminta Yefta untuk menjadi pemimpin mereka. Yefta setuju untuk menolong mereka dengan syarat bahwa dia akan tetap menjadi kepala mereka sekalipun pertempuran sudah selesai.
Dengan semangat Yefta mengunjungi seluruh daerah Gilead dan Manasye untuk meminta pasukan tambahan. Lalu ia menyeberangi  sungai Yabok dan pergi menuju Mizpa. Di sana, sebelum bergerak melawan orang Amon, ia bernazar dihadapan Allah, suatu kebiasaan bangsa-bangsa kuno sebelum maju ke pertempuran. Dengan penuh kesadaran Yefta berjanji akan mempersembahkan kepada Yahweh sebagai korban bakaran ‘apa yang keluar dari pintu rumahku’.[1]

2.      BIOGRAFI YEFTA
Pada zaman Hakim-hakim, bangsa Israel murtad kepada Tuhan. Pada saat itu, setiap orang melakukan apa yang benar menurut pandangannya sendiri ( Hak 7: 6; 21: 25 ). Pada zaman kekacauan itulah Yefta hidup.
Yefta dilahirkan dari perempuan sundal. Nama ayahnya adalah Gilead. Setelah besar, anak-anak Gilead dari istrinya mengusir Yefta. Tampaknya yang membenci Yefta bukan hanya saudara-saudaranya, melainkan juga para tua-tua Israel. Akibatnya Yefta melarikan diri ke Tob dan menjadi pemimpin para perampok.
Ketika keadaan Israel sudah sangat berat oleh penindasan orang Amon, maka para tokoh masyarakat Gilead meminta Yefta menjadi pemimpin mereka. Di bawah kepemimpinan Yefta, mereka akhirnya menang melawan orang Amon.

3.      YEFTA MEMPERSEMBAHKAN ANAKNYA SEBAGAI KORBAN BAKARAN
Kasus ini merupakan suatu kasus yang sangat menarik dan banyak perbedaan pendapat apakah Yefta mempersembahkan anaknya sebagai korban bakaran atau anaknya dipersembahkan sebagai pelayan di Kemah Pertemuan selama hidupnya. Pendapat kedua didasarkan pada larangan firman Tuhan mempersembahkan manusia sebagai korban bakaran ( Im 18: 21; 20: 2-5, Ul 12: 31; 18: 10 ). Mereka menafsirkan ‘menangisi kegadisanku’ ( Hak 11: 37 ) dan ‘jadi gadis itu tidak pernah kenal laki-laki’ ( Hak 11: 39 ) sebagai bukti bahwa ia tidak dipersembahkan, tetapi dijadikan sebagai pelayan Tuhan di depan pintu Kemah Pertemuan seumur hidupnya.[2]
Ada beberapa pokok pikiran untuk menolak pendapat bahwa Yefta mempersembahkan anaknya sebagai pelayan di depan pintu Kemah Pertemuan adalah sebagai berikut:
Ø  Alkitab sama sekali tidak menyinggung tentang pelayan di Kemah Pertemuan. Simpulan itu ditarik dari ungkapan ‘menjadi kepunyaan Tuhan’. Namun simpulan itu mengalami kesulitan dengan adanya ungkapan ‘dan akan mempersembahkannya sebagai korban bakaran’. Untuk mengatasi kesulitan itu, mereka menafsirkan kata ‘dan’ dengan ‘atau’. Namun, dalam seluruh Alkitab perjanjian Lama, kata ‘dan’ tidak dapat ditafsirkan dengan kata ‘atau’. Jika kedua kata hubung itu dapat ditafsirkan demikian, berarti seluruh kata dalam Alkitab PL yang memiliki pola kalimat demikian akan ditafsirkan sama juga. Itu tentu akan membingungkan maksud Allah akan firman-Nya. Mana ‘dan’ yang menghubungkan dan mana ‘dan’ yang memisahkan akan sangat membingungkan pembaca. Dengan tidak mungkinnya perubahan arti itu, di dalam hati Yefta secara sadar, ia berkehendak menjadikan apa yang dinazarkannya itu menjadi milik Allah dengan menjadikannya sebagai korban bakaran.
Ø  Alkitab mencatat bahwa Yefta melakukan apa yang telah ia nazarkan ( Hak 11: 39 ).
Ø  Tuhan tidak pernah menyuruh Musa dan umat Israel untuk menempatkan perempuan sebagai pelayan di rumah Allah. Tuhan telah menetapkan kaum Lewi sebagai pembantu para imam melayani di Kemah Pertemuan, orang awam tidak boleh ( Bil 8: 5-26; 18: 2-7 ). Meskipun Musa pada mulanya sempat memakai kaum perempuan melayani di depan Kemah, hal itu terjadi pada saat Kemah Pertemuan secara keseluruhan belum selesai dikerjakan ( Kel 38: 8 ). Lebih tepatnya, hal itu terjadi pada saat kaum Lewi belum ditetapkan sebagai pembantu imam. Setelah kaum Lewi ditetapkan, Musa tidak pernah lagi memakai kaum perempuan. Jika pola itu kemudian diterapkan oleh imam Eli pada zaman Hakim-hakim ( 1 Sam 2: 22 ), itu pasti di sebabkan umat Israel telah meniru tata ibadah bangsa-bangsa Kanaan. Sistem ibadah bangsa Kanaan terkenal dengan pelacur bakti dan semburit bakti. Perlu diingat bahwa pada zaman Hakim-hakim, umat Israel melakukan apa yang benar menurut apa yang dipandangnya benar ( Hak 17: 6; 21: 25 ).
Ø  Kesedihan Yefta yang begitu dalam serta kebiasaan para perempuan Israel memperingati kematian putri Yefta itu selama empat hari setiap tahun, berlawanan dengan status seorang menjadi pelayan di Rumah Allah. Justru selayaknya Yefta bersukacita sebab anaknya akan menjadi hamba Tuhan seumur hidupnya. Apalagi, putrinya itu dengan sukarelamenerima pelaksanaan nazar ayahnya. Kalau kesedihan Yefta dan kebiasaan para perempuan Israel disebabkan karena anak Yefta menjadi pelayan Tuhan, Yefta bukanlah orang beriman dan kebiasaan perempuan Israel itu akan membuat orang lain tidak bersedia menjadi pelayan Tuhan.
Ø  Jika kesedihan Yefta dikarenakan anaknya menjadi pelayan Tuhan, orang akan menganggap Tuhan sebagai pihak yang jahat. Kalau untuk menjadi hamba Tuhan orang harus menyesal dan berduka sedemikian dalam, lalu apakah makna panggilan pelayanan penuh waktu bagi anak Tuhan? Jika maksud ‘kepunyaan Tuhan’ adalah sebagai pelayan di rumah Tuhan, lalu siapa yang hendak dijadikan demikian oleh Yefta? Biasanya orang Israel kalau menazarkan seseorang menjadi pelayan di rumah Tuhan, orang yang dinazarkan adalah anaknya ( 1 Sam 1: 9-11 ). Dalam hal itu, gadis itu adalah satu-satunya anak Yefta.
Perkataan ‘apa saja’ dalam nazar Yefta sering dipersoalkan. Ada yang menafsirkan kata itu ditulis dalam jenis maskulin. Maksudnya, yang dimaksud Yefta tidak termasuk binatang, tetapi manusia. Dengan demikian, kata ‘apa saja’ diganti dengan ‘siapa saja’. Jika ‘siapa saja’, berarti kemungkinan yang dimaksud oleh Yefta adalah istrinya, para pembantunya, mungkin sanak saudaranya, atau anak satu-satunya.
Ada juga yang menafsirkan ‘apa saja’ sebagai bentuk netral. Itu berarti berlaku baik untuk manusia atau binatang. Dapat diduga bahwa selain manusia, yang dapat menemui seseorang pada waktu pulang ke rumah adalah binatang peliharaan.
Berdasarkan uraian tersebut, timbul pertanyaan, apa atau siapa yang sesungguhnya dimaksud oleh Yefta yang hendak dipersembahkan dan dijadikan korban bakaran bagi Tuhan? Kalau binatang hampir tidak mungkin sebab ternak yang dapat dijadikan korban bakaran, seperti kambing, domba, atau sapi, ditempatkan di padang penggembalaan, bukan di rumah. Mungkinkah tekukur atau merpati? Namun, tekukur atau merpati merupakan korban bakaran bagi orang miskin. Yefta bukanlah orang miskin sebab ia sudah menjadi hakim. Di samping itu, tekukur dan merpati adalah bianatang yang pemeliharaannya di dalam kurungan. Kalau manusia, sudah tentu bukan anaknya. Apakah para pembantu Yefta, istrinya, atau orang tua yang dijadikan sebagai korban bakaran?
Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab itu, sangat sukar menduga ke arah mana nazar Yefta itu ditujukan. Memang kelihatannya aneh, mengapa orang beriman seperti Yefta memiliki pikiran yang seperti ini dan berakibat mencelakakan orang lain. Untuk mengetahui hal ini perlu diperhatikan bagaimana latar belakang kehidupan Yefta seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya.
Dengan melihat kenyataan hidup Yefta yang penuh dengan penolakan dan latar belakang kehidupan yang sangat buruk, jelas bahwa hal itu sangat mempengaruhi psikologis Yefta. Secara psikologis, sesungguhnya Yefta telah terkubur ke dalam “sebuah peti mati” akibat lika batin dan penolakan yang hebat sejak masa kanak-kanaknya.
Jadi, jelaslah bahwa penolakan dari keluarga adalah salah satu faktor yang paling parah yang dapat menimbulkan luka batin yang sulit disembuhkan. Pertobatan tidak secara otomatis dapat menyembuhkan luka batin. Pemulihan ini membutuhkan waktu yang cukup banyak. Jika tidak, akan terjebak ke dalam sindrom psikologis yang menyebabkan ketidakseimbangan emosional. Yefta adalah salah seorang yang terperangkap ke dalam sindrom ketidakseimbangan itu.
Pada zaman PL, orang-orang yang dipilih Tuhan untuk berperang selalu berawal dengan sebuah pengalaman menarik. Pengalaman itu adalah saat berkuasanya Roh Allah atas diri orang tersebut. ‘berkuasa atas’ dapat diartikan memberikan semangat yang meluap-luap, memberikan keberanian, mendorong, atau menggerakkan, dan memberi kekuatan dan kemampuan fisik.
Pengalaman itu juga terjadi ddalam diri Yefta ketika ia hendak berperang melawan orang Amon. Selanjutnya, Alkitab melaporkan malapetaka yang menimpa putri Yefta justru berawal saat Roh Allah berkuasa atas Yefta. Ketika Roh Allah berkuasa atas Yefta ( Hak 11: 29 ), timbullah semangat luar biasa dalam diirinya untuk mengalahkan musuhnya, yaitu bangsa Amon. Semangat yang berapi-api itu rupanya menimbulkan perasaan ( emosi ) yang meluap.
Sementara itu, Yefta yang secara kejiwaan belum mengalami pemulihan, secara tidak terkontrol, mengucapkan nazar yang mencelakakan itu. Karena merasa bahwa nazar seorang laki-laki tidak boleh dicabut dengan cara apapun, Yefta oleh kebodohannya mengorbankan anak gadisnya sebagai korban bakaran.

4.      KESIMPULAN
Yefta adalah seorang hakim yang gagah berani dan mengalahkan bangsa Amon yang telah menindas Israel dengan sangat berat. Dengan keberanian dan kepercayaan diri yang begitu besar, ia mengeluarkan nazar yang akhirnya membuat hatinya begitu sedih. Dalam nazarnya ia mengatakan bahwa ‘apa saja yang keluar dari pintu rumahku untuk menemui aku, pada waktu aku kembali dengan selamat dari bani Amon, itu akan menjadi kepunyaan Tuhan, dan aku akan mempersembahkannya sebagai korban bakaran’ ( Hak 11: 30-31 ). Akibat nazar yang telah diucapkannya dan karena kebodohan serta kekerasan hatinya, ia menjadikan anak perempuannya sebagai korban bakaran.


DAFTAR KEPUSTAKAAN

--------, Alkitab Terjemahan Baru, LAI.
Browning, W. R. F, Kamus Alkitab, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008.
_____, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II ( M-Z ),  Jakarta: Yayasan Bina Kasih/OMF, 2007.
 Sitohan, H. Samin, Kasus-kasus Dalam PL, Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2005.


[1] _____, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II ( M-Z ), ( Jakarta: Yayasan Bina Kasih/OMF, 2007. Hlm. 553 ).
[2] Sitohan, H. Samin, Kasus-kasus Dalam PL, ( Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2005. Hlm. 115 ).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar